Kutai Timur – DPRD Kutai Timur (Kutim) menuntut keadilan fiskal kepada Pemerintah Pusat setelah mendapati alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) royalti batu bara untuk Kutim diperkirakan turun drastis hingga 70 persen. Anggota DPRD Rahmadani mengecam kebijakan yang membuat DBH Kutim—sebagai daerah penghasil—disamakan dengan daerah lain. Gagal mendapatkan jawaban memuaskan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kini legislatif tengah menyiapkan data produksi untuk dibawa ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Akibat anjloknya DBH ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutim tahun 2026 diperkirakan turun drastis, tersisa hanya sekitar Rp4,8 triliun.
Rahmadani mengungkapkan bahwa pihak dewan telah mengambil langkah proaktif dengan mendatangi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) beberapa waktu lalu untuk mengajukan keberatan dan mempertanyakan dasar penurunan DBH.
“Di Kemenkeu kami pertanyakan mengapa Kutim mendapatkan DBH yang sama dengan daerah lain, padahal Kutim ini adalah daerah penghasil, bukan pengelola, dan bukan pula daerah peminta,” ujar Rahmadani kepada sejumlah awak media.
Karena belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dan dianggap tidak rasional, DPRD Kutim kini beralih fokus untuk mencari data dan argumentasi yang lebih teknis.
DPRD Kutim saat ini tengah mengumpulkan data royalti dari sumber yang valid, termasuk meminta data produksi dari PT Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu penghasil batu bara terbesar di Kalimantan Timur. Data tersebut kemudian akan dikompilasi dengan data di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
“Kami sudah ke Kemenkeu. Setelah data detail kami kumpulkan, kami akan membawanya ke Kementerian ESDM untuk mempertanyakan masalah dana perimbangan yang diterima Kutim, mengingat produksi batu bara Kutim tetap tinggi,” tutup Rahmadani.
Pengumpulan data teknis ini bertujuan untuk memperkuat argumen DPRD Kutim saat mengajukan tuntutan keadilan fiskal di Kementerian ESDM.(Adv)














