SANGATTA – Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menghadapi tekanan ganda setelah Dana Bagi Hasil (DBH) dipastikan turun drastis, diikuti anjloknya profit sharing dari PT Kaltim Prima Coal (KPC). Penurunan profit sharing tersebut mencapai lebih dari 80 persen, dari Rp540 miliar pada tahun 2022 menjadi hanya sekitar Rp80 miliar lebih saat ini.
Anggota DPRD Kutim, Rahmadani, yang tergabung dalam rombongan kunjungan kerja ke kantor KPC, menyoroti penurunan ekstrem ini. Ia mempertanyakan mekanisme perhitungan yang menyebabkan bagi hasil terjun bebas, padahal volume produksi batu bara KPC dilaporkan tetap stabil di angka sekitar 50 juta ton per tahun.
“Dalam pertemuan kami dengan manajemen PT KPC, pertanyaan utama saya, mengapa profit sharing Pemkab Kutim ini terjun bebas, dari Rp540 miliar tahun 2022, sekarang tinggal Rp80 miliar lebih,” kata Ramadani kepada sejumlah awak media.
Kunjungan yang dipimpin Ketua DPRD Kutim, Jimmi, ini dilakukan sebagai respons atas kekhawatiran APBD yang terancam menyusut, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor tambang juga terjun bebas.
Pihak manajemen KPC memberikan penjelasan bahwa penurunan nilai profit sharing sangat ditentukan oleh fluktuasi harga penjualan batu bara di pasar internasional.
KPC menjelaskan bahwa sebagian besar, yaitu 70 persen, penjualan batu bara diarahkan ke luar negeri. Kenaikan harga yang tinggi pada tahun 2022 menyebabkan keuntungan besar, sehingga profit sharing yang diterima Pemkab juga maksimal.
Namun, KPC menyebut adanya perubahan harga yang menurun setelah periode tersebut. Meskipun volume produksi stabil, penurunan nilai jual, terutama di pasar ekspor, secara langsung memengaruhi nilai keuntungan perusahaan dan akhirnya memangkas jatah profit sharing yang diterima Pemerintah Kutim.
Manajemen KPC menegaskan bahwa nilai penjualan menjadi faktor penentu utama yang mengubah keuntungan, dan bukan hanya volume produksi.(Adv)














