Kutai Timur – Di atas kertas, kebijakan rasio 80 persen tenaga kerja lokal dan 20 persen tenaga luar adalah angin segar bagi para pencari kerja di Kutai Timur (Kutim). Namun di lapangan, aturan ini kerap membentur tembok tebal bernama “kompetensi”.
Kesenjangan antara skill yang dimiliki warga lokal dengan standar tinggi yang dipatok perusahaan industri dan pertambangan masih menjadi jurang pemisah yang nyata.
Menyadari realitas ini, Anggota Komisi D DPRD Kutim, H. Shabaruddin, enggan sekadar menyalahkan perusahaan yang belum memenuhi kuota tersebut. Alih-alih memaksakan aturan secara kaku, ia menawarkan jalan tengah yang lebih fundamental: revolusi pelatihan kerja.
Bagi Shabaruddin, Balai Latihan Kerja (BLK) tidak boleh lagi sekadar menjadi tempat kursus formalitas. Ia mendorong BLK bertransformasi menjadi inkubator SDM yang kurikulumnya benar-benar “kawin” dengan kebutuhan industri (link and match).
Realistis Melihat Pasar
“Kita harus realistis. Tuntutan masyarakat agar 80 persen terserap itu wajar. Tapi kalau kita menuntut tanpa memikirkan kualitasnya, bagaimana perusahaan bisa berjalan optimal?” ujar Shabaruddin, Senin (24/11/2025).
Politisi ini menekankan bahwa dunia industri bergerak sangat dinamis dengan persyaratan teknis yang spesifik. Jika suplai tenaga kerja lokal tidak memiliki sertifikasi atau keahlian yang diminta, memaksakan rekrutmen justru bisa menjadi bumerang bagi operasional perusahaan—dan pada akhirnya merugikan iklim investasi daerah.
Oleh karena itu, Shabaruddin mendesak agar kurikulum di BLK tidak kaku. Ia meminta adanya pemetaan kebutuhan yang serius. Dinas Tenaga Kerja dan BLK harus duduk satu meja dengan pihak perusahaan untuk bertanya: “Kalian butuh tenaga kerja dengan keahlian apa?”
Menciptakan Ekosistem, Bukan Sekadar Angka
Konsep yang ditawarkan Shabaruddin adalah demand-driven training atau pelatihan berbasis permintaan. Jika BLK mampu mencetak lulusan yang spesifikasinya persis dengan yang dicari perusahaan, maka penerapan kebijakan 80:20 tidak perlu lagi dipaksakan dengan “otot”, melainkan akan berjalan secara natural.
“Kuncinya ada di kesiapan. Kalau SDM kita siap, tersertifikasi, dan kompeten, perusahaan tidak punya alasan lagi untuk mengambil orang luar,” tegasnya.
Visi Shabaruddin jelas: ia ingin membangun ekosistem di mana putra-putri daerah menjadi tuan rumah yang tangguh di negerinya sendiri, bukan karena belas kasihan regulasi, melainkan karena kemampuan yang mumpuni.
Dengan sinergi antara pemerintah, BLK, dan perusahaan dalam menyusun kurikulum yang adaptif, harapan agar warga lokal mendominasi sektor industri di Kutim bukan lagi sekadar mimpi di siang bolong, melainkan target yang sangat mungkin dicapai.(Adv)














