Kutai Timur – Bagi Fraksi Gelora Amanat Perjuangan (GAP) DPRD Kutai Timur (Kutim), dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bukanlah sekadar tumpukan kertas berisi deretan angka statis. Di balik miliaran rupiah yang tertulis di sana, tersimpan harapan petani di ladang, asa pelaku UMKM di pasar, dan masa depan pembangunan di desa-desa.
Filosofi inilah yang ditekankan oleh Juru Bicara Fraksi GAP, Shabaruddin, S.Ag, dalam Rapat Paripurna ke-XIII, Selasa (25/11/2025). Di tengah suasana ruang sidang yang hening, Shabaruddin memberikan catatan penting terkait penyusunan APBD Tahun Anggaran 2026.
Ia menyoroti “lampu kuning” pada kondisi fiskal daerah. Adanya tren penurunan pendapatan yang cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya menjadi sinyal bahwa Kutai Timur harus mulai berbenah dan lebih bijak.
“Kami melihat ini sebagai peringatan serius. Kondisi ini menuntut langkah strategis, kita tidak bisa lagi boros,” ungkap Shabaruddin.
Mencari Keseimbangan di Tengah Keterbatasan
Di tengah dompet daerah yang sedang mengalami tekanan, Shabaruddin justru meminta agar keberpihakan pemerintah semakin tajam. Menurutnya, efisiensi bukan berarti memangkas segalanya, melainkan memilah mana yang sekadar keinginan birokrasi dan mana yang menjadi kebutuhan mendesak rakyat.
Fraksi GAP mendesak agar anggaran belanja yang tidak produktif—seperti seremonial berlebihan atau program yang tak berdampak langsung—segera dipangkas. Sebaliknya, kucuran dana harus dialirkan deras ke sektor-sektor yang menjadi bantalan ekonomi masyarakat: pertanian, UMKM, dan pemberdayaan desa.
“Kami ingin setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar kembali memberi manfaat bagi rakyat. Fokuslah pada ekonomi kerakyatan,” tuturnya.
APBD Sebagai Alat Perjuangan
Dalam pandangannya, sektor pertanian dan usaha kecil adalah jaring pengaman sosial paling efektif saat ekonomi sedang tidak menentu. Jika petani diberdayakan dan UMKM diberi modal serta akses pasar, perputaran uang akan terasa langsung di akar rumput.
Shabaruddin menutup pandangannya dengan sebuah pesan ideologis yang kuat kepada seluruh pemangku kebijakan di Kutim.
“APBD bukan sekadar angka, tetapi alat perjuangan,” tegasnya.
Kalimat singkat itu menjadi pengingat bahwa tugas pemerintah dan DPRD bukan hanya mengetuk palu pengesahan, melainkan memastikan anggaran 2026 benar-benar menjadi “nafas” yang menghidupkan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Kutai Timur, tanpa terkecuali.(Adv)














