KUTAI TIMUR – Pagi itu, di sebuah sudut pasar tradisional Sangatta, rak-rak telur berjajar rapi. Namun, tak banyak yang tahu, sebagian besar telur yang dibeli masyarakat setiap hari itu bukan hasil ternak lokal. Sekitar 80 persen kebutuhan telur di Kutai Timur masih didatangkan dari luar daerah—Jawa dan Sulawesi menjadi penyokong utamanya.
Di balik kenyataan itu, ada kegelisahan yang mendalam dari Ketua Komisi A DPRD Kutim, Eddy Markus Palinggi. Baginya, ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah sinyal peringatan tentang rapuhnya kemandirian pangan di daerah yang sejatinya kaya akan potensi alam.
“Kita punya lahan yang luas, subur, dan masyarakat yang mau bekerja. Tapi kenapa komoditas seperti telur dan sayuran masih harus kita impor dari luar?” ucap Eddy dengan nada prihatin saat ditemui awak media belum lama ini.
Eddy tak hanya bicara soal kebutuhan saat ini, tetapi juga masa depan. Dengan rencana besar pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berada tak jauh dari Kutai Timur, kebutuhan pangan lokal dipastikan akan melonjak drastis. Kutim seharusnya bisa menjadi salah satu tulang punggung penyedia pangan, bukan justru tetap bergantung pada daerah lain.
“Ini tantangan besar sekaligus peluang emas,” katanya. “Tapi tanpa keseriusan dalam memberdayakan peternak dan petani lokal, kita akan tertinggal dan kehilangan momentum.”
Ia menilai, selama ini program-program bantuan kepada peternak lokal kerap bersifat jangka pendek—sekadar pemberian modal awal, tanpa pendampingan berkelanjutan yang membantu mereka mengelola usaha secara profesional.
“Yang dibutuhkan bukan hanya ayam atau sapi. Mereka butuh mentor, pelatihan, akses pasar, bahkan teknologi,” tegasnya. “Kalau kita mau peternakan lokal maju, harus dimulai dari cara berpikir dan sistem pendukung yang solid.”
Menurut Eddy, potensi sektor peternakan di Kutim sangat besar, terutama untuk ternak ayam, sapi, dan babi. Namun sayangnya, potensi ini masih sebatas di atas kertas, belum terealisasi maksimal di lapangan.
Dengan suara penuh semangat, Eddy menutup pernyataannya, “Sudah saatnya Kutim bangkit, berdiri di atas kaki sendiri, dan menjadikan peternak lokal sebagai pahlawan ketahanan pangan.”
Di tengah geliat pembangunan dan harapan besar akan masa depan, cerita tentang telur yang datang dari jauh ini menjadi pengingat bahwa kemandirian sejati dimulai dari dalam—dari ladang sendiri, kandang sendiri, dan kerja keras warga sendiri. (Adv)














