Kutai Timur – Di balik deru pembangunan infrastruktur yang terus digenjot di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), terdapat sisi lain yang masih menyisakan keprihatinan. Di sejumlah wilayah pedalaman, wajah pendidikan daerah ini tampak tua dan lelah.
Gedung-gedung sekolah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman bagi anak-anak merajut mimpi, justru berdiri dalam kondisi rapuh. Banyak di antaranya adalah bangunan “warisan” era Kabupaten Kutai lama sebelum pemekaran, yang kini dimakan usia.
Potret buram ini menjadi perhatian serius Anggota DPRD Kutim, H. Shabaruddin. Saat turun ke lapangan, ia menyaksikan sendiri realitas yang jauh dari kata ideal: atap yang bocor, dinding papan yang lapuk, toilet yang tak berfungsi, hingga ruang kelas sempit tanpa ventilasi memadai.
“Ini kondisi nyata. Anak-anak kita belajar dalam ketidaknyamanan. Bagaimana mereka bisa menyerap ilmu dengan baik jika atap di atas kepala mereka saja rusak?” ujar Shabaruddin dengan nada prihatin.
Bukan Sekadar Tambal Sulam
Bagi Shabaruddin, persoalan pendidikan di Kutim tidak bisa lagi diselesaikan dengan cara biasa atau sekadar “tambal sulam” menggunakan anggaran setahun habis. Ia mendorong sebuah terobosan kebijakan yang lebih berani dan bervisi panjang.
Legislator ini mengusulkan agar pemerintah daerah memasukkan proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah ke dalam skema kontrak tahun jamak atau Multiyears Contract (MYC).
Mengapa harus Multiyears? Shabaruddin menilai, skema ini memberikan kepastian penyelesaian. Dengan MYC, perbaikan sekolah tidak akan mangkrak di tengah jalan hanya karena keterbatasan waktu atau anggaran dalam satu tahun anggaran. Pembangunan bisa dilakukan secara tuntas, menyeluruh, dan berkualitas.
“Pendidikan adalah fondasi masa depan Kutim. Jika kita serius, jadikan ini prioritas utama. Skema multiyears akan menjamin rehabilitasi sekolah berjalan tuntas tanpa terputus,” tegasnya.
Krisis di Balik Dinding Kelas
Selain fisik bangunan, Shabaruddin juga menyoroti “jiwa” dari sekolah itu sendiri, yakni para guru. Ia mengungkapkan fakta miris di mana beberapa sekolah di pedalaman hanya diampu oleh satu atau dua orang guru yang harus mengajar semua mata pelajaran. Kekurangan guru agama dan olahraga menjadi kasus yang paling sering ditemui.
Beban berat di pundak para pengajar ini, menurutnya, adalah bom waktu bagi kualitas generasi muda Kutim.
“Mengabaikan sekolah rusak, guru kurang, dan sarana minim, sama saja kita mengabaikan masa depan anak-anak kita,” pungkasnya.
Usulan Shabaruddin ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah. Perbaikan fasilitas pendidikan bukan sekadar proyek fisik, melainkan investasi peradaban untuk memastikan anak-anak Kutai Timur tidak tertinggal di tengah kemajuan daerahnya sendiri.(Adv)














