Kutai Timur – Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menilai tren penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat sebagai peringatan serius. Kondisi ini disebut sebagai sinyal kuat agar daerah segera membangun struktur fiskal yang mandiri dan tidak terus-menerus bergantung pada dana transfer.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Fraksi PPP, Hepnie Armansyah, S.IP, saat menyampaikan Pemandangan Umum Fraksi terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Tahun Anggaran 2026 dalam Rapat Paripurna ke-XIII, Selasa (25/11).
Hepnie menegaskan, pemotongan alokasi dana pusat jangan hanya dilihat sebagai tantangan teknis penganggaran semata, melainkan peringatan akan kerentanan keuangan daerah.
“Pemotongan DBH bukan sekadar angka dalam neraca. Ini adalah alarm fiskal yang memberi pesan bahwa daerah harus mengurangi ketergantungan pada transfer pusat,” tegas Hepnie.
Menyikapi hal tersebut, Fraksi PPP mendorong agar penyusunan RAPBD 2026 dijadikan momentum untuk melakukan reformasi pendapatan daerah. Hepnie memaparkan beberapa strategi kunci untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD), di antaranya melalui digitalisasi sistem pungutan pajak dan retribusi guna mencegah kebocoran anggaran.
Selain itu, ia menyoroti kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Menurutnya, BUMD harus direformasi agar tidak membebani APBD, melainkan menjadi salah satu pilar penyumbang pendapatan.
“RAPBD 2026 seharusnya menjadi fase reformasi pendapatan daerah. Digitalisasi sistem pungutan dan peningkatan tata kelola BUMD menjadi kunci,” jelasnya.
Hepnie menambahkan, manajemen fiskal yang disiplin dan berbasis kinerja adalah fondasi mutlak yang harus dibangun Pemkab Kutim untuk menghadapi dinamika kebijakan nasional yang tidak menentu.
“RAPBD 2026 bukan hanya dokumen keuangan tahunan, tetapi investasi kebijakan untuk masa depan fiskal Kutai Timur yang lebih kuat dan stabil,” pungkasnya.(Adv)














