Kutai Timur – Di balik tebalnya dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kutai Timur, tersimpan nasib ribuan warga. Di sana ada harapan petani agar hasil panennya bisa terangkut, ada doa orang tua agar anaknya bisa bersekolah dengan layak, dan ada mimpi warga pelosok untuk sekadar menikmati air bersih.
Bagi Anggota DPRD Kutim, Edy Markus, APBD bukanlah sekadar deretan angka statistik atau formalitas birokrasi tahunan. Dokumen itu adalah “nafas” pembangunan yang harus dijaga kesucian peruntukannya.
Politisi Partai NasDem ini menyampaikan kegelisahannya. Ia melihat masih adanya celah ketimpangan yang lebar antara wajah perkotaan yang kian modern dengan wajah pedalaman yang masih tertatih-tatih.
“Kita tidak boleh menutup mata. Masih banyak wilayah yang tertinggal,” ujar Edy dengan nada serius.
Tolak Pembangunan “Kosmetik”
Edy memiliki prinsip tegas dalam fungsi pengawasannya: setiap rupiah uang rakyat harus kembali dalam bentuk manfaat nyata, bukan sekadar “kosmetik” pembangunan. Ia secara spesifik menyoroti proyek-proyek yang sifatnya seremonial—megah di peresmian, namun minim dampak bagi kehidupan harian warga.
“Anggaran harus menjawab kebutuhan riil masyarakat. Jangan sampai habis untuk proyek seremonial, sementara di tempat lain ada sekolah yang belum punya gedung, atau warga yang kesulitan air dan listrik,” kritiknya.
Ia mengajak para pemangku kebijakan untuk membayangkan betapa sulitnya kehidupan di desa ketika akses jalan terputus. Jalan rusak, bagi Edy, bukan sekadar ketidaknyamanan perjalanan, melainkan pemutus nadi ekonomi. Ketika roda kendaraan tak bisa berputar, maka distribusi logistik macet, harga barang melambung, dan akses pendidikan serta kesehatan menjadi barang mewah.
“Kalau jalannya saja tidak ada, semuanya pasti terhambat. Ekonomi tidak bergerak. Ini yang harus kita prioritaskan,” tambahnya.
Mengawal Keadilan hingga Pelosok
Komitmen Edy Markus dan Fraksi NasDem kini tertuju pada satu misi: memastikan APBD benar-benar pro-rakyat. Melalui kursi legislatif, ia berjanji akan menjadi “penjaga gawang” agar alokasi anggaran tidak melenceng dari tujuan utamanya, yakni pemerataan.
Ia ingin memastikan bahwa kue pembangunan tidak hanya dinikmati segelintir orang di pusat kekuasaan, tetapi juga dirasakan manisnya oleh mereka yang tinggal di ujung-ujung desa terpencil.
“Pemerataan itu bukan hanya slogan. Kami akan kawal agar pembangunan betul-betul menyentuh masyarakat yang membutuhkan,” pungkasnya.
Di tangan wakil rakyat yang peduli, APBD diharapkan bukan lagi menjadi dokumen kaku yang berjarak, melainkan menjadi solusi nyata yang menghapus air mata kesulitan warga di seluruh penjuru Kutai Timur.(Adv)














