Kutai Timur – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Masdari, mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) untuk mengkaji ulang penerapan sistem zonasi pendidikan, khususnya bagi warga yang tinggal di wilayah perbatasan antara Kutim dan Kota Bontang.
Menurut Masdari, kebijakan zonasi saat ini dinilai tidak proporsional dan tidak berkeadilan karena mengabaikan fakta geografis yang dialami oleh masyarakat perbatasan.
“Jarak menjadi permasalahan utama. Lebih dekat perjalanan mereka ke Bontang daripada ke Sangatta sebagai pusat pemerintahan Kutai Timur. Ini yang jadi permasalahan kalau saya lihat,” ujar Masdari di Sangatta.
Ia mencontohkan, warga di wilayah Sidrap dan Teluk Pandan di Kutim terpaksa menempuh perjalanan yang jauh ke sekolah-sekolah di Sangatta, padahal lokasi sekolah di Bontang justru jauh lebih dekat dan mudah diakses. Masalah ini, menurutnya, muncul berulang setiap tahun.
Kondisi tersebut, kata Masdari, tidak hanya terjadi di sektor pendidikan. Faktanya, banyak warga perbatasan yang juga memilih mengurus kebutuhan sehari-hari, administrasi kependudukan, hingga layanan kesehatan ke Bontang karena kemudahan akses dan sejarah mobilitas masyarakat pesisir.
Masdari menilai fakta geografis dan orientasi aktivitas warga yang condong ke Bontang harus menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan layanan publik.
Sebagai solusi, DPRD Kutim menyarankan Pemkab Kutim segera menjalin koordinasi dan kerja sama pelayanan yang intensif dengan Pemerintah Kota Bontang. Fleksibilitas kebijakan, terutama pada sektor pendidikan dan administrasi dasar, dinilai dapat mengurangi beban warga perbatasan.
“DPRD siap mendorong pembahasan kebijakan yang lebih fleksibel. Jangan sampai tinggal di perbatasan berarti tinggal di wilayah yang dilupakan. Mereka tetap warga Kutim dan harus mendapat pelayanan yang layak,” tegas Masdari.(Adv)














